Pada bulan Desember tahun 1789, Kesultanan Sambas
diserang oleh pasukan Siak Sri Inderapura yang dipimpin oleh raja Ismail.
Penyerangan Siak ini bersumbu dari persaingan perdagangan dan ekonomi yang
terjadi dikedua pihak kesultanan. Mereka saling berebut kekuasaan di laut
hingga menyebabkan kontak senajata demi menguasai perbatasan pulau Sumatera dan
Kalimantan. Armada kerajaan Siak bergerak maju disekitar perairan sungai Sambas
kecil lalu menembakkan meriam kearah pasukan Kesultanan Sambas.
Ketika kapal dari pasukan siang terlihat ingin
mendaratkan prajurit untuk menyerang kerajaan, saat itupula pasukan dari
Keraton Sambas bergerak dengan berenang untuk mendekati kapal dari pasukan
lawan, dengan maksud menenggelamkan dan di cover oleh tembakan meriam dari
darat. Hingga menjelang malam, pertempuran kedua pasukan itu berjalan sengit
hingga menimbulkan banyak korban berguguran. Dalam pertempuran ini, pasukan
sambas berhasil memukul mundur pasukan Siak dan menenggelamkan beberapa
kapalnya, dan sebagian kecil pasukan Siak dapat lolos dan pulang dengan kepala
tertunduk akibat kekalahan.
Tak terima dengan kekalahan pertama mereka, pasukan
Siak kembali menyusun kekuatan untuk menyerang Kesultanan Sambas. Tepat pada
tahun 1791, pasukan Siak kembali untuk kedua kalinya untuk menyerang kedaulatan
sambas. Kali ini mereka membawa jumlah pasukan lebih banyak dari sebelumnya
yang dipimpin oleh Sultan Said Ali sendiri. Pasukan Siak yang bertempur dengan
keberanian demi membalas dendam kepada Sambas hampir membuat pertahanan
Kesultanan Sambas hampir ditembus. Melihat situasi yang genting segera beberapa
menteri kesultanan Sambas antaranya Wazir serta hulubalang berunding dengan
Sultan Abubakar Tajudin I dan Pangeran Anom supaya diadakan perundingan damai
dengan Sultan Said Ali.
Usul dari Menteri dan Hulubalang ditolak mentah oleh
Sultan dan Pangeran Anom, sebab pangeran Anom masih sangat yakin dengan
kekuatan dari pasukannnya. Lalu setelah itu Pangeran Anom memerintahkan
beberapa orang untuk menjemput pasukannya yang terdiri dari orang – orang Dayak
Sungkung dan Orang Dayak Saribas untuk membantu di medan pertempuran. Dengan
demikian, kembali pasukan Siak Sri Inderapura dipukul mundur untuk kedua
kalinya. Pasukan kerajaan Siak yang telah kalah tidak meninggalkan wilayah
Sambas, hal tersebut karena mereka sedang menunggu bala bantuan yang berada
digaris belakang.
Seakan tak jera, pada tahun 1792 pasukan siang
kembali menyusun kekuatan yang masif untuk kembali menyerang kesultanan
Sambas. Kali ini mereka dipimpin oleh
Sayid Mustafa dan didampingi oleh seorang panglima asal Aceh yang terkenal akan
keberaniannya, bernama Panglima Aru, dan seorang permaisurinya yang gagah
berani. Sedangkan dipertempuran itu pasukan Sambas dipimpin langsung oleh
Pangeran Anom yang didampingi oleh Awang Tandi” ( Lawang Tandi ) yang dijemput
dari tempat pertapaannya di Keramat Bantilan (letaknya sekarang di wilayah Kecamatan
Sejangkung).
Pertempuran antara pasukan negeri Sambas dengan
pasukan Siak Sri Inderapura disertai dengan adu kekuatan serta ketangkasan
antara Panglima Aru dengan Awang Tandi’. Duel yang berjalan cukup lama untuk
mengadu kesaktian antara keduanya, akhirnya dimenangkan oleh Awang Tandi’ yang
berhasil membunuh Panglima Aru dalam pertarungan. Melihat kematian Panglima
Aru, dengan tangkas permaisuri terjun ke medan pertempuran seperti se-ekor
singa mengamuk dan membunuh beberapa panglima dari Sambas. Melihat amuk
Permaisuri kala itu, pangeran Anom merasa cemas dan bergegas untuk ikut turun
ke Medan pertempuran untuk menghalau pergerakan musuh, lalu memerintahkan Awang
Tandi’ untuk menyerang langsung tubuh dari permaisuri yang mengamuk. Sayangnya
serangan sangat sulit dilakukan karena permaisuri diapit oleh pasukan yang
berlapis. Sadar akan ketangkasan serta kesaktian permaisuri tersebut, pangeran
Anom menembakkan “Peluru Petunang” kearah permaisuri Sayid Mustafa itu,
sehingga membuatnya tewas di medan perang. Melihat kematian Panglima Aru dan
Permainsuri, Sayid Ali dan Sayid Mustafa memutuskan untuk mundur dari medan
pertempuran untuk kembali ke Negerinya.
Atas kekalahan tersebut, sebagian dari panglima Siak
menyerah, diampuni oleh Kesultanan Sambas dan diberi tempat untuk menetap di
sebuah kampung yang sekarang dikenal dengan nama ‘Tanjung Rengas’. Untuk
kediaman orang – orang dari Zulu disediakan sebuah kampung yang diberi nama
“Kampung Nagur”, Dan untuk orang – orang yang berasal dari Sulawesi Selatan disediakan
kampung yang diberi nama “Kampung Bugis”.
Rujukan :DI catat ulang dari Buku Sejarah Kesultanan Dan Pemerintahan Daerah " diterbitkan oleh Dinas Pariwisata Pemda Kabupaten Sambas Tahun 2001
KOMEN KALLUU.. :)