Tidak bisa dipungkiri
kemunculan Kaum Bunian sedikit banyak memberi perasaan takut dalam diri
manusia. Meski mereka sebenarnya tidak mengganggu. Kemunculannya kerap membuat
bulu kuduk merinding. Maklum, perbedaan alam mereka telah membuat semacam
jurang pemisah. Padahal, bila ditelusuri, asal usul kaum Bunian ini adalah
manusia juga. Keberadaan mereka sangat erat hubungannya dengan kerabat Keraton
Sambas.
Siapakah sebenarnya kaum Bunian ini ?
Siapakah sebenarnya kaum Bunian ini ?
Tahun 1757 M, Kerajaan Islam
Sambas berada di puncak kejayaan. Raden Djamak yang bergelar Sultan Oemar
Aqqamaddin (II), naik tahta. Ia mengantikan ayahanda Sulta Abubakar Kamaluddin,
keturunan Sultan Hasan Ibnu Syaiful Rizal. Keraton Sambas kerap pula disebut
istana Alwaat Zik Hubbillah. Keraton ini terletak di muara Ulakan yang
menghadap persimpangan tiga cabang anak sungai, yakni Sungai Sambas, Sungai
Teberau dan Sungai Subah.
Diujung utara berlatar
belakang Gunung Senuju yang melengkung hijau, sementara di sebelah timur berderet
bukit barisan yang dinamakan Pegunungan Sebedang. Di muara Sungai Sambas
selatan diapit dua gunung, yaitu Gunung Gajah dan Gunung Kalangbau. Karena
kondisi geografis itulah, negeri Sambas menjadi terkenal. Negeri itu aman dan
makmur dengan julukan “negeri laksana kembang setaman”.
Keraton Sambas didirikan oleh
Raden Sulaiman yagn bergelar Sultan Muhammad Tsafiuddin I di Tanjung Muara
Ulakan Lubuk Madung, tahun 1687 Miladiyah. Atau bertepatan dengan tahun 1680
Hijriah. Raden Sulaeman adalah putra dari Giri Mustika, Raja Tengah, yang
menikah dengan putri Surya Kencana, adik raja Panembahan yang memerintah
Kerajaan Tanjungpura. Perkawinan itu terjadi karena kapal yagn ditumpangi Raja
Tengah dihantam badai di sekitar Pulau Tanjung Datuk. Kejadiannya saat ia
pulang dari Keraton Johor menuju Sarawak.
Tanjung Datuk sendiri
terkenal angker. Menurut cerita, Tanjuk Datuk atau Paloh itu adalah pusat
pemerintahan orang-orang Bunian. Kerajaan Sambas Tua terletak di Kota Lama dan
berada di wilayah Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas. Kerajaan itu
dikenal dengan nama Kerajaan Ratu Sepudak, yang merupakan pendiri kerajaan
kecil itu pada jaman sebelum masuknya pengaruh Islam ke Sambas.
Menurut beberapa sumber, kerajaan kecil di Paloh pada mulanya dipimpin oleh Pangeran Prabu Kencana yang bergelar Ratu Anom Kesuma Yoeda. Lengsernya beliau dari tahta pemerintahan karena pemberontakan yang dilakukan oleh anak angkatnya yagn berasal dari negeri Bunian bernama Tan Nunggal. Dan menurut cerita dari mulut ke mulut di kalangan kerabat istana, yagn saat ini memerintah di Kerajaan Bunian adalah keturunan raja sambas bernama Raden Sandi. Raden Sandi dinyatakan menghilang dari kerajaan, karena diambil kaum Bunian.
Menurut Hasan (65), kuncen
Keraton Sambas, yagn juga masih keturunan Pangeran Bendahara, putra Sultan
Moehammad Tsafiuddin II, menolak jika raibnya sang pangeran karena diambil
untuk dijadikan raja di Kerajaan Bunian. “Itu tidak benar. Tidak ada orang
Bunian yang mengambil Raden Sandi. Beliau Raib karena kehendak Allah semata,”
tuturnya.
Raden Sandi Braja, kata
Hasan, adalah salah satu putra raja Sambas Sultan Moehammad Tsafioeddin II. Ia
termasuk sosok yang jenius dan mampu menyelesaikan sekolah sekolah sebelum
waktunya. Tanggal 8 Desember 1890, ia melanjutkan sekolah ke tanah Jawa diantar
Menteri Pangeran Tjakranegara Pandji Anom. Keberangkatannya bersamaan dengan
diasingkannya sang ayahanda ke tempat pembuagnan oleh Penjajah Belanda.
Raden Sandi dan saudaranya
Raden Mohammad diserahkan kepada Tuan Bestantjesdijk, direktur Opleideing
School di Bandung. Dan, lima tahun kemudian keduanya kembali setelah berhasil
menyeelsaikan pelajarannya dengan baik. Seusai itu ia langsung diangkat menjadi
putra mahkota, namun belum sempat menduduki tahta, beliau meninggal dunia.
Ada beberapa versi soal
kematian Raden Sandi Braja. Konon, sang pangeran muda jatuh cinta pada seorang
gadis dalam lingkungan istana. Sayangnya, hubungan itu tidak direstui Datu
Sultan. Maklum, sang gadis ternyata masih saudara sendiri. Ini sangat
dipantangkan di keraton.
Sebenarnya, sang pangeran
mdua itu telah dijodohkan dengan gadis yagn berasal dari Negeri Titis
Sepancuran, Brunai Darussalam. Karena memang begitulah pesan leluhur
memerintahkan. Tapi ia tetap saja menolak, sampai akhirnya mengambil jalan tengah.
Dengan lapang dada ia menerima saran dari ibundanya. Sarannay, jika tetap
menolak untuk dijodohkan dengna puteri dari Brunai, maka ia diperbolehkan
mencari puteri dari negeri lain, asalkan bukan dengan saudara sepupu sendiri.
Maka berangkatlah Raden Sandi ke negeri Johor.
Tapi, baru beberapa bulan di
sana, ia mendapat kabar bahwa kekasihnya telah dinikahkan dengna seorang lelaki
asal negeri Siak. Mendengar kabar tidak sedap itu, Raden Sandi langsung
membatalkan perantauannya. Ia pulang ke Sambas untuk membuktikan kebenaran
kabar iut. Dan, kenyataannya telah membuatnya sakit hati. Ia tak menyangka
ayahandanya sampai hati memtuuskan hubungan mereka. Maka tanpa pikir panjang
lagi, Raden Sandi melampiaskan amarahnya. Ia mengamuk dan tak seorang pun mampu
menahan kehebatannya.
Usai melampiaskan
kemarahannya, ia bersumpah tak akan menduduki tahta kerajaan dan akan
meninggalkan Sambas selama-lamanya. Agaknya, takdir berkehendak lain. Belum
sempat Raden Sandi meninggalkan istana Sambas, ia terserang penyakit yang tak
ada obatnya. Penyakit itu akhirnya merenggut jiwanya. Namun sebuah keajaiban
terjadi.
Sesaat setelah mengembuskan
nafas, tubuh Raden Sandi hilang entah ke mana. Yang tinggal hanyalah batang
pisang. Raden Sandi hilang secara misterius.
Menurut sebagian kawula
istana, jenazah putra mahkota itu lenyap misterius dan digandi batang pisang.
Tapi banyak pula yagn mengatakan bila ia mati diambil oleh orang Bunian di
Paloh. Konon, itu sebagai tebusan atas nyawa burung peliharaan Putri Kibanaran
(Orang Bunian) yagn tewas saat Raden Sandi berburu di hutan Paloh. Orang pintar
dari keraton menyatakan bahwa Raden Sandi Braja telah menjadi raja di Negeri
Kibanaran.
Belakangan, ada beberapa
sumber yang menyebut bahwa dulu pernah ada pengusaha dari Singapura yagn pergi
ke Bandar Paloh dan berjumpa dengan Raden Sandi. Dengan mata kepala sendiri ia
menyaksikan betapa suasana di Bandar Paloh sangat ramai dan sibuk, laksana
pelabuhan laut sebuah negara besar. Transaksi dagang dengan Raden Sandi pun
berlangsung. Tapi apa yang terjadi.
Saat sang pengusaha yang
bernama Taib bin Djasman membuka map transaksi di depan rekannya dari Jakarta,
kertas berharga itu hanyalah selembar daun sirih yang sudah layu. Dengan
penasaran sang pengusaha itu kembali ke Bandar Paloh. Tapi, yang didapat di
sana berbeda. Yang dia lihat sekarang hanyalah sebuah desa dan pasar kecil di
pinggir sungai kecil. Sebagian kawasan masih ditumbuhi hutan lebat. ***
Kehidupan Kaum Bunian Sambas
Cerita tentang kehidupan bangsa lelembut ini bukan isapan jempol. Masyarakat Kalimantan Barat amat yakin kaum Bunian adalah realita. Seringkali makhluk halus itu membaur dengan manusia, meski tak disadari kehadirannya. Pada saat-saat tertentu, kerap orang melihat kaum Bunian berada di tengah keramaian. Sang lelembut tampak layaknya manusia biasa. Hanya saja, sebuah ciri fisik tak bisa menutupi mereka. Di wajah mereka tak ada garis antara hidung dengan bibir atas. Alisnya juga menyatu. Parasnya memang aneh dan berkesan menyeramkan.
Ada satu hal yang tidak boleh
dilakukan manusia bila berada dekat dengan kaum Bunian: jangan sekali-kali
mengikuti ajakannya. Bila itu dilakukan, maka ia akan masuk ke alam gaib mereka
dan tidak akan bisa kembali. Pusat komunitas kaum Bunian terletak di sekitar
Pantai Selimpai, Kecamatan Paloh. Juga terdapat di seputar Tanjung Batu,
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Tatanan kehidupan kaum Bunian
amat teratur. Itu karena mereka di kelola oleh sistem kerajaan yang tertib.
Mereka pun bukan tipe makhluk pengganggu yang suka
meneror manusia. Bahkan sebaliknya, sekali waktu mereka terlihat membaur dengan manusia untuk memberi bantuan.
meneror manusia. Bahkan sebaliknya, sekali waktu mereka terlihat membaur dengan manusia untuk memberi bantuan.
Kasus perang etnis di Sambas
beberapa waktu lalu, konon juga melibatkan kaum Bunian ini. Raja mereka sengaja
mengerahkan pasukan Bunian untuk menghalau etnis tertentu yang dianggap
mengganggu ketenteraman hidup etnis pribumi. Namun tetap saja perbedaan alam
dengan mereka menyebabkan manusia takut.
Pendeknya, kehidupan kaum
Bunian bukan sekadar cerita. Tapi benar-benar nyata. Bila ingin menemui kaum
Bunian, datanglah ke pusat komunitas mereka di sekitar Pantai Selimpai atau
Tanjung Batu. Tentu saja, tidak begitu saja seseorang bisa berhubungan langsung
dengan bangsa lelembut ini. Melainkan harus dengan bantuan orang yang menjadi
perantara.
Di kedua pantai tersebut,
selalu ada orang yang bisa menjadi perantara dengan orang-orang dari bangsa
Bunian. Menurut Hendra Sukmana, aktivis LSM yang kini menjabat Ketua Panwaslu
Kota Singkawang, tanpa perantara, tak mungkin orang biasa bisa bertemu langsung
dengan kaum Bunian. Hanya orang yang punya kemampuan khususlah yang bisa
berinteraksi langsung dengan mereka. Tanpa memiliki kemampuan semacam itu, maka
orang-orang hanya bisa melihat pantai ini sebagai objek wisata yang indah saja.
Tidak lebih dari itu.
Akan tetapi, dalam kondisi
tertentu, bisa saja orang biasa berjumpa dengna kaum Bunian. “Sewaktu-waktu
orang biasa pun sering berjumpa dengan kaum Bunian yang tengah berada di
sekitar mereka. Seperti di pasar-pasar rakyat, di dalam mobil angkutan umum, di
pinggir sungai, bahkan di supermarket,” tuturnya kepada penulis.
Nah, ketika itu, terang
Hendra, jangan sekali-kali berbuat ceroboh. Misalnya, sok akrab dengan sengaja
menyapa mereka. Se¬bab bila tidak memiliki bekal batin yang kuat, kita bisa
terpengaruh oleh ajakan mereka. Apalagi bila kaum Bunian yang menampakkan diri
itu adalah kaum hawa. “Jika tidak ku¬at iman, kita bisa terpikat. Kalau itu
terjadi, maka kita tidak akan bisa kembali ke dunia manusia lagi,” ujar Hendra.
“Diculik” Kaum Bunian
Bila orang kedatangan kaum Bunian,
dipastikan bakal dicekam rasa takut. Kemunculannya memang kerap membuat bulu
kuduk merinding. Wajar saja, siapa yang tidak takut bila di datangi mahluk
halus. Apalagi selama ini berkembang anggapan bila kaum Bunian selalu membawa
manusia ke dunianya. Cerita-cerita bangsa manusia sering dibawa ke alam kaum
Bunian ini sudah sering terdengar.
Misalnya satu kejadian pada
paruh akhir tahun 1995 di daerah Sejangkung, Sambas. Ketika itu ada anak kecil
kelas 2 SD yang tidak kembali ke rumah setelah pulang sekolah. Sementara
teman-teman lainnya sudah sampai di rumah. Maka keluarga si anak ini pun cemas.
Mereka mencari-cari si anak ke rumah neneknya, namun tidak ditemukan. Begitu
juga ditanyakan kepada teman-temannya, mereka tidak tahu.
Hingga akhimya, orang tua si
anak menghubungi orang pintar di daerah itu. Setelah melalui deteksi batin,
orang pintar ini mengatakan bila si anak dalam keadaan selamat. Cuma, saat ini
ia tengah berada di tengah lingkungan kaum Bunian. Keterangan itu sedikit
banyaknya bisa diterima keluarga. Sebab ketika ditanyakan kepada salah seorang
temannya, ia mengatakan bila setelah pulang sekolah, anak ini diajak pergi
beberapa anak kecil yang tidak dikenal. Orang pintar ini pun lantas
menyimpulkan bila yang mengajak si anak hilang ini adalah anak-anak kaum
Bunian.
Mendapat keterangan demikian,
orang tua si anak amat cemas. Mereka dihinggapi pikiran negatif jika si anak
tak akan bisa kembali lagi ke dunia manusia. Orang pin¬tar yang dimintai
bantuan ini malah tersenyum. Ia lalu pamit untuk melakukan sesuatu. Nah, ketika
hari mulai senja, tiba-tiba tiupan angin kencang menghantam rupa orang tua si
anak hilang.
Peristiwa itu dirasakan betul
oleh seluruh penghuni rutnah. Mereka pun dicekam ketakutan luar biasa. Sebab
kejadian itu sangat tidak lazim. Di tengah-tengah suasana mencekam itu,
tiba-tiba pintu rumah diketuk seseorang. Saat dibuka, ternyata si anak hilang
itu sudah berdiri di depan pintu. Orang tua keluarga itu pun merasa senang
karena anaknya telah kembali.
Ketika ditanya kemana saja
dia pergi, dengan polos anak ini mengatakan bila ia pergi bersama teman-teman
barunya naik perahu besar. Lalu dia di bawa berlayar entah ke mana. Meski
semuanya orang-orang asing, tapi si anak ini merasa senang. Sebab selain
bersama teman-teman baru, dia juga bisa bermain bersama. Menurut si anak,
setelah puas bermain, perahu besar itu kembali merapat. Dia kemudian diantar
teman-temannya pulang ke runah. Belakangan, teman-temannya itu tiada lain
adalah kaum Bunian.
Dibawa ke Alam Gaib
Meski ada yang kembali ke
dunia manusia setelah berhubungan dengan kaum Bunian, ternyata banyak pula yang
tidak kembali alias terbawa ke alam gaib. Hal itu, bisa terjadi karena beberapa
sebab. Pertama, memang sudah dikehendaki manusianya sendiri untuk bergabung
dengan dunia Bunian. Ini terjadi bila, umpamanya, seorang pria jatuh hati
dengan wanita dari bangsa lelembut itu. Selanjutnya orang ini ingin berhubungan
terus hingga kepelaminan. Tentu saja, orang ini tidak akan kembali ke alam
nyata.
Sebab kedua, seseorang
tergiur oleh ajakan kaum Bunian. Inilah yanag selalu diwanti wanti setiap orang
agar berhati-hati dan jangan mudah tergiur ajakan mereka. Ada satu peristiwa di
tahun 1990-an. Dulu, pernah ada seorang pemuda bernama Mahyan. Ia dinyatakan
hilang. Semula, orang-orang desa mengira dia pergi ke Pulau Tambelan untuk
bekerja di bagan, tempat mencari ikan. Namun, pakaiannya di lemari masih utuh.
Itu menandakan bila Mahyan tidak pergi kemana-mana, atau pergi tanpa pamit.
Menurut cerita
teman-temannya, tadi malam Mahyan berkenalan dengan seorang wanita. Kebetulan
sejak beberapa hari lalu, ada pekan hiburan rakyat di depan kantor kecamatan.
Nah, sejak berkenalan itu teman-temannya tidak melihat lagi batang hidung
Mahyan. Sampai keesokan harinya, Mahyan tidak kembali. Bahkan hingga
berhari-hari, minggu, bulan dan tahun. Seterusnya, Mahyan tak diketahui lagi
dimana rimbanya. Orang-orang di kampung berkeyakinan bila Mahyan hilang karena
di bawah ke alam kaum kaum Bunian.
Ciri Kaum Bunian
Fenomena kaum Bunian sudah
mendarah daging dalam masyarakat Sambas. Meski kerap muncul rasa takut bila
didekati kaum Bunian, namun masyarakat di sana sudah terbiasa. Malah boleh
dikata, mereka tak merasakan lagi adanya persoalan. Meski begitu, membicarakan
soal Bunian bagi mereka, adalah tabu. Mereka lebih memilih diam dari pada
bercerita kaum Bunian. Atau kalaupun menceritakannya, tapi secara bisik bisik.
Seolah-olah takut nada bicaranya didengar orang lain, terutama kaum Bunian.
Bila tiba-tiba mereka
merasakan kedatangan kaum Bunian, orang-orang Sambas lazim mengatakan,
"Oh, insanak datang!" Setelah itu secara tak diam-diam dia akan
menjauhi orang Bunian itu. Bisakah kaum Bunian ini dibedakan dengan manusia
biasa? Tentu saja bisa. Bahkan perbedaannya amat menyolok. Rudi Fitrianto (38),
warga Kota Singkawang, mengatakan bila perbedaan itu tampak pada penampilan
fisik.
Misalnya pada bagian wajah.
Kaum Bunian dikenal tidak memiliki garis atau tepatnya lekukan yang memanjang
antara hidung den¬gan bibir atas. "Itu adalah ciri kodrati kaum Bunian,” tutumya.
Inilah ciri fisik yang sangat jelas membedakan kaum Bunian dengan manusia.
“Kalau kita melihat seseorang yang tidak memiliki garis bibir itu, maka
dipastikan orang itu adalah kaum Bunian,” tuturnya lagi.
Ciri lainnya, kaum Bunian
memiliki bentuk alis yang khas. Alisnya lebat dan tampak seperti menyatu. Ciri
seperti ini, boleh jadi terdapat pada sebagian kecil manusia. Selebihnya,
bentuk fisik kaum Bunian dengan manusia nyaris sama. Misalnya soal tinggi
badan. Karena itu, bila berpapasan secara sepintas, nyaris seseorang tak dapat
membedakan dia adalah Kaum Bunian atau manusia. Selebihnya, terang Rudi, wujud
kaum Bunian memang halus. Sehingga banyak orang menyebutnya makhluk halus atau
lelembut.
Meski mereka mahluk halus
yang terkadang menampakkan diri, ada orang-orang tertentu yang bisa melihat
kaum Bunian dalam keadaan secara kasat mata. Mereka adalah orang-orang tua dan
anak-anak kecil, meski tidak semuanya. Beberapa tahun lalu, ketika pecah perang
etnis di Sambas, banyak anak-anak kecil yang sering duduk dipinggir sungai
Sambas. Ketika ditanya mengapa duduk-duduk di situ, mereka menjawab sedang
melihat kapal besar yang mengangkut banyak orang. Kapal itu terlihat menuju
Keraton Sambas.
Kebenaran cerita anak-anak
itu diperkuat kenyataan bila di halaman Keraton Sambas, secara tiba-tiba
berkibar bendera wama kuning. Itulah bendera khas Kerajaan Sambas tempo dulu,
yang sejak lama tidak pernah dikibarkan. Keadaan itu memberikan sinyal bila
bangsa Bunian tengah berkumpul di sekitar Keraton Sambas. Hanya saja wujud
mereka tidak terlihat. Dan pada malam harinya, warga Sambas melihat kotanya
sangat ramai sekali. Namun mereka sama sekali tidak mengenal orang-orang itu
datang dari mana. ***
Referensi
: Di catat ulang dari Komunitas Melayu Bersatu ( KMB )
KOMEN KALLUU.. :)