“Ibu bagaikan sekolah, bila anda
mempersiapkannya secara baik, berarti anda telah mempersiapkan generasi bangsa
dengan integritas kepribadian yang baik.”
(‘Abbas Kararat)
Ungkapan ‘Abbas
Kararat diatas, sebagaimana yang dinukil oleh Syeikh Mansur Rifa’i ‘Abid dalam
bukunya yang berjudul Al-Mar atu Madhiha wa Hadhiruha,mengisyaratkan
betapa pentingnya peran wanita atau ibu bagi majunya generasi. Generasi yang
maju pada akhirnya akan berimplikasi terhadap majunya sebuah peradaban. Adalah
wanita al-madrasatu al-ula yang menanamkan akhlak dan
kepribadian kepada anak-anak mereka. Wanita yang mengenalkan kepada mereka
hakikat tugas manusia dimuka bumi ini, yakni menjadi khalifatullah.
(‘Abid, 2000: 9)
Kedudukan Wanita dalam Islam
Islam hadir memupuskan
budaya Arab Jahiliyyah. Fanatisme kesukuan yang sebelumnya begitu kokoh
perlahan pudar hingga kemudian terusir. Kedudukan wanita yang berada dibawah
kezaliman seperti boleh diwariskan, dikungkung paksa dan boleh
diperjual-belikan berubah menjadi mulia dan terhormat. Allah telah menjelaskan
dalam Al-Qur’an bahwa kedudukan antara laki-laki dan wanita sama, keduanya
mendapat perlakuan yang sama sesuai batas kemampuan dan kodrat masing-masing.
Inilah sebuah undang-undang bijak yang telah membebaskan wanita dari perbudakan
Jahiliyah menuju kemerdekaan Islam, dari jurang kehinaan, kenistaan,
ketidakberdayaan menuju martabat kehormatan, kemuliaan dan kemerdekaan.
Al-Qur’an membahasakan
istilah “wanita” setidaknya dalam tiga kalimat, yaituimra’ah, an-nisa’ dan al-untsa.
Kalimat imra’ah diulang sebanyak 26 kali, kalimat an-nisa’ sebanyak
56 kali dan kalimat al-untsa sebanyak 30 kali. Istilah lain
yang artinya menunjukkan kepada jenis wanita dan predikat wanita adalah az-zauj, al-bint dan al-umm jamaknya al-ummahat.
Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut membahas hal-hal yang berkenaan dengan wanita,
diantaranya adalah tentang proses penciptaan wanita, warisan, sanksi
hukum, hak dan tanggungjawab wanita dalam keluarga, contoh wanita yang
baik dan tidak baik dan lain sebagainya. (Muhith, 2010: 9)
Senada dengan
banyaknya penjelasan Al-Qur’an mengenai wanita, Rasulullah SAW. dalam
hadist-hadist yang diriwayatkan oleh sahabat juga membahas hal-hal yang
berkenaan dengan wanita. Sebagai contoh hadist yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori dan Ibnu Majah berikut yang menjelaskan betapa mulianya seorang ibu:
حدثنا بهز بن حكيم عن أبيه عن جده رضي الله عنهم قال: قُلْتُ يَارَسُوْلَ
اللهِ مَنْ أَبَرُّ؟ قَالَ أُمَّكَ. قُلْتُ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمَّكَ. قَالَ
ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمَّكَ. قُلْتُ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ
فَالْأَقْرَبَ. (أخرجه البخاري وابن ماجه)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Bahaz bin
Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallahuanhum, ia berkata: “Saya bertanya wahai Rasulullah saw. kepada siapa
saya berbuat baik?” Nabi menjawab: “Kepada ibumu.” Aku berkata: “Setelah itu?”
“Kepada ibumu”. Aku berkata:“Setelah itu?” “Kepada ibumu”. Aku berkata:“Setelah
itu?” “Kepada ayahmu, kemudian karib kerabat yang terdekat dan seterusnya”.
(HR. Bukhari dan Ibn Majah) (As-‘Asqalani,2002:264)
HAMKA dalam bukunya
yang berjudul “Kedudukan Perempuan dalam Islam” mengambil kesimpulan
bahwa dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas perempuan, rumah-tangga dan
peraturan hidup, wanita dipandang sebagai bagian yang sama pentingnya dengan laki-laki.
Persamaan ini berkenaan dengan tanggungjawab beragama, mengokohkan akidah
dan ibadaat serta menegakkan kebenaran dan keadilan. Kesadaran
wanita akan tanggungjawab tersebut akan menumbuhkan harga diri yang tinggi dan
timbul ilham perjuangan. Namun disisi lain, Islam juga memahami dan menjaga
kondisi fisik wanita hingga ia tidak dibebani hal yang tidak dapat dipikulnya.
Islam menjelaskan bahwa meskipun laki-laki dan wanita sama-sama berhak dan
berkewajiban, tapi pekerjaan dan tanggungjawab perlu dibagi. Pembagian sesuai
syari’at dengan tujuan untuk mewujudkan sebuah keluarga yang sakinah
mawaddah wa rohmah dan tercapainya keluarga Islami yang berperan serta
untuk kejayaan Islam. (HAMKA, 1996: 8-11)
Wanita berperan
sebagai Syaqaaiqu ar-Rijaal (partner laki-laki) dalam
mengemban amanah khalifatullah di muka bumi ini. Partner
terdiri dari dua pihak yang berbeda tetapi saling melengkapi dan membutuhkan
satu sama lain, mempunyai tujuan sama yang ingin dicapai yakni kebahagiaan di
dunia dan di akhirat. Fungsi manusia menjadi khalifatullah baik
laki-laki maupun wanita membawa beberapa konsekuensi. Pertama,
manusia secara kodrati akan berusaha dan berkembang hingga mendapatkan manfaat
sebesar-besarnya dari pengelolaan mereka terhadap bumi. Kedua, perbedaan
kodrati antara laki-laki dan wanita akan menuai peran yang berbeda. Maka harus
ada sinergi antara keduanya dan saling melengkapi agar memperoleh manfaat yang
maksimal. Ketiga, hakikat kemanusiaan (al-karamah al-insaniyyah)
menyebabkan adanya hak asasi yang menjadi hak manusia, yang integral dan
inheren dari kemanusiaan itu sendiri.Keempat, wanita memiliki hak-hak
khusus disamping hak-hak manusia secara umum karena mereka mengemban
peran-peran tertentu yang tidak bisa digantikan kaum laki-laki.(Munir,
1999: 54-55)
Tokoh Muslimah dalam Sejarah
Muslimah dan dakwah, sejak awal mula
munculnya Islam, Siti Khadijah adalah orang pertama yang mengakui kebenaran
Islam dan masuk dalam jajaran as-Sabiqunal Awwalun. Selain
itu, ada beberapa wanita yang telah masuk Islam karena dorongan dan
kesadaran akal mendahului kaum laki-laki. Mereka adalah Ummu Habibah, Ummul
Fadhl, Lubabah binti Harits al-Hilaliyah, Aminah binti Khalaf bin As’ad, Asma’
binti Abu Bakar, Sayyidah ‘Aisyah, Sayyidah Ummu Habibah binti Abu Sufyan
al-Umawiyah, Asma binti Umais, Fathimah binti Shafwan, Ramlah binti Auf dan
lain sebagainya. Sedangkan dari kalangan wanita budak lemah yang masuk Islam
karena keikhlasan dan kesadaran penuh adalah Sumayyah ibu Ammar, Ummu Ubais,
Zanirah, Nahdiyah dan Hamamah ibu Bilal. Bahkan orang yang syahid pertama
kali adalah Sumayyah ibu Ammar.
Muslimah modern telah
bergerak dalam bentuk organisasi Islam yang memfokuskan sasarannya dalam bidang
dakwah. Ini merupakan bukti bahwa muslimah zaman ini telah menyadari pentingnya
peran serta mereka dalam perjuangan umat Islam. Sebagai contoh adalah Jamaah
Sayidat Muslimat yang didirikan oleh Zainab Al-Ghazali pada tahun 1936 M / 1357
H di Mesir. Ia lahir di wilayah Al-Bukhaira, Mesir pada tahun 1917. Ia
terkenal sebagai aktivis Islam yang begitu gigih memperjuangkan persamaan hak
kaum perempuan sesuai doktrin ajaran Islam yang benar. Gerakan ini berjalan
berdampingan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, membahas persoalan-persoalan
kaum muslimin dan berusaha untuk mengembalikan kejayaan Islam dan akidah umat
ini.(Qazan, 2001: 184)
Muslimah dan
politik, wanita sudah berperan serta dalam dunia politik sejak awal mula datangnya
Islam. Wanita menjadi bagian dari rombongan Madinah yang mengikuti bai’ah Aqabah
kedua. Adapun wanita yang baik langsung atau tidak langsung turut berkiprah
dalam dunia politik adalah Siti Fatimah putri Nabi turut serta dalam
menyumbangkan ide dan gagasannya pada masa pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq,
Siti ‘Aisyah memimpin pasukan dalam jumlah besar yang terdiri dari para sahabat
dan tabi’in dalam perang Jamal. Nailah binti Al-Farafishah, istri Umar bin
Khattab yang mendampingi, memotivasi dan menyumbangkan ide kepada sang suami
dalam banyak hal. Serta masih banyak tokoh-tokoh wanita yang berpengaruh seperti
Zubaidah istri Harun Ar-Rasyid, Syajaratud ad-Dur, Ummu Salamah istri As-Safah,
Qathrunnada ibu khalifah Al-Muqtadir serta enam ratu dalam daulah Fathimiyyah.
Dunia modern, juga telah mencatat nama-nama pemimpin wanita yang
relatif sukses seperti Indira Gandhi, Margaret Tatcher, Srimavo Bandaranaeke,
Benazir Buttho dan Syaikh Hasina Zia. (Ziyadah, 2001: 11-16)
Muslimah dan
ilmu, Adalah Sayyidah ‘Aisyah sosok ahlu al-Qur’an,
ahli hadist dan ahli fiqh yang telah memiliki kontribusi besar dalam perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa sahabat. Ia menjadi salah satu rujukan bagi
permasalahan-permasalahan yang dihadapi sahabat saat itu. Peran ‘Aisyah yang
besar ini menurut Syeikh Sa’id setidaknya karena adanya tiga faktor, yaitu
karena ia hidup dan dibesarkan dengan lingkungan bernafaskan Islam dan mulia,
ia mendampingi Nabi dalam perjuangan dakwah dan terakhir karena pengetahuannya
yang luas tentang sejarah bangsa Arab. Az-Zuhri mengatakan: “Seandainya
dibandingkan antara ilmu ‘Aisyah dengan ilmu istri-istri Nabi yang lain beserta
seluruh wanita, maka ilmu ‘Aisyah lebih banyak”.( Ad-Dakhil, 1989: 57-80)
Tokoh muslimah ‘alimah lain
adalah Hafsah binti Sirin, sang hafidzah al-Qur’an dan ahli
dalam ilmu faroidh, ilmu nahwu, ilmu fiqh madzhab Syafi’i dan cabang-cabang
ilmu lain. Selain itu Maulah binti Umamah, Robi’ah al-Adawiyah, Ummu ‘Isa binti
Ibrahim al-Harby, Ruqoyyah binti Afif ‘Abdussalam, Ummu ‘Isa Maryam binti
Ahmad, Fatimah al-Baghdadiyah, Zainab binti Al-Kamal, Nasywan al-Kinaniyah dan
lain sebagainya. (Al-Haji, tt.: 317-325)
Muslimah dan
seni, muslimah ahli syair diantaranya adalah al-Khansa binti Amru, Fathimah
az-Zahra, Shofiyah binti ‘Abdul Mutholib, Sayyidah ‘Aisyah, ‘Atikah istri
Umar bin Khattab, ‘Aisyah binti Ahmad al-Qurthubiyah, Ummu ‘Aisyah al-Ba’uniyah
dan Maryam binti Abi Ya’qub al-Anshori. Sedangkan orator muslimah diantaranya
adalah Fathimah az-Zahra, Hafshah binti Umar dan Sakinah binti al-Husain.
(Al-Haji, tt.: 383-398)
Muslimah, Ilmu dan Peradaban
Islam menetapkan bahwa
peran utama wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ia
menjadi al-Madrasah al- Ula bagi anak-anaknya. Allah
menciptakan wanita dengan kemampuan reproduksi yang tidak bisa digantikan oleh
kaum laki-laki. Meskipun banyak aktivitas lain yang dibebankan kepada wanita,
tetapi haruslah baginya menjalankan fungsi sebagai ibu dan pengatur rumah
tangga. Kewajiban ini adalah sebuah amanah yang mulia dan penting bagi
umat, karena kemajuan umat berangkat dari berhasilnya organisasi terkecil yakni
sebuah keluarga.
Seorang wanita berperan penuh terhadap tanggungjawab
yang besar ini, ia mencetak generasi umat mendatang. Wanita diibaratkan
sebagai tiang dan pondasi sebuah rumah karena begitu penting perannya dalam
sebuah keluarga. Kasih sayangnya adalah nutrisi batin dan penyemangat
bagi anak-anaknya. Bagi suami, istri bukan sebatas mitra (syarikah)
tetap lebih dari itu, ia adalah sahabat (shahibah). Mengingat begitu
pentingnya peran seorang wanita, Maisar Yasin berpendapat bahwa kewajiban yang
harus didahulukan oleh seorang muslimah adalah menuntut ilmu. Ilmu yang
diutamakan adalah‘ulumuddin, pendidikan akhlak, ilmu-ilmu yang berkenaan
dengan tabiat, tugas dan kewajiban wanita dalam hidupnya serta pengetahuan
tentang perkembangan dan tantangan zaman. Ini sangat penting untuk menjadikan
mereka seorang ibu yang siap menjalankan kewajibannya terhadap keluarga. Ilmu
merupakan bekal utama untuk membentuk mereka menjadi sosok ibu yang siap
mendidik, mengarahkan dan mencetak generasi Rabbani yang
beradab. (Yasin, 1997:45-46)
Pada akhirnya,
kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa pembinaan suatu peradaban yang
kuat harus bermula dari ibu yang berilmu pengetahuan dan yang peka terhadap
nilai-nilai penting kemanusiaan serta perkembangan dan tantangan zaman. Ibu
yang sadar akan kewajibannya kepada Tuhan dan sadar akan pentingnya perannya
bagi keluarga hingga akhirnya bisa membawa keluarganya kepada
kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bisshowaab...
Referensi:
Fatimah Huda
Naja, Al-Mustasyriqun wa al-Mar ah al-Muslimah, (Daar
al-Iman, 1991)
HAMKA, Kedudukan
Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996)
Ibn Hajar As-‘Asqalani, Bulugh Al-Maram min
Adillati al-Ahkam, (Jakarta: Daar al-Kutub al-Islamiyah, 2002)
Nur Faizin Muhith, Perempuan
Ditindas atau Dimuliakan? Menguak Rahasia-rahasia Wanita dalam Al-Qur’an, (Solo:
Indiva Media Kreasi, 2010)
Muhammad Umar
al-Haji, An-Nisaau Syaqaaiqu ar-Rijal, (Damaskus: Daar al-Maktabi,
tt.)
Lily Zakiyah Munir,
“Hak Asasi Perempuan dalam Islam: Antara Idealisme dan Realitas” dalam Lily
Zakiyah Munir (ed), Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahandalam
Perspektif Islam, (Bandung: Mizan, 1999)
Asma’ Muhammad
Ziyadah, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam terj. Kathur
Suhadi (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2001)
Shalah Qazan, Membangun
Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan terj. Khazin Abu Fakih
(Solo: Era Intermedia, 2001)
Maisar Yasin, Wanita
Karier dalam Perbincangan diterjemahkan oleh Ahmad Thabroni Mas’udi,
(Jakarta: Gema Insani, 1997)
Syeikh Sa’id Fayaz
ad-Dakhil, Mausu’atu Fiqhi ‘Aisyah Ummu al-Mukminin Hayatuha wa Fiqhuha,
(Beirut: Daar an-Nafais, 1989)
KOMEN KALLUU.. :)